Dampak Mengerikan Letusan Gunung Tambora dan Krakatau


Pada 1816, penduduk di kawasan Eropa Utara dan Amerika Utara tertimpa kalabendu atawa bencana alam aneh. Setelah hampir sembilan bulan diselimuti udara dingin, mereka sebenarnya tengah berharap hangatnya mentari akan menemani sepanjang Mei hingga Agustus. Tetapi sinar matahari yang dinanti ternyata tak pernah datang.

Temperatur rata-rata musim panas di kawasan itu mestinya mencapai 20 sampai 25 derajat celsius. Namun tahun itu sungguh aneh, suhu malah jatuh hingga di bawah 5 derajat celsius. Akibatnya, dingin itu pun membekukan panen. Bahkan dua badai salju yang terjadi pada Juni membunuh ratusan hewan ternak serta manusia.

Pada Juli dan Agustus, di selatan Pennsylvania, Amerika, mendadak terbentuk bentangan danau dan sungai es. Perubahan temperatur secara dramatis pun terjadi. Dalam hitungan jam, suhu normal musim panas bisa melonjak hingga 35 derajat celsius dan tiba-tiba turun hingga titik beku.

Gejolak suhu yang ekstrem itu membuat harga gandum melambung. Petani di selatan New England, Amerika Serikat, menjual gandum dari 12 sen menjadi 92 sen segantang. Belakangan, fenomena alam yang menyimpang itu diketahui sebagai dampak letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia, pada 5-15 April 1815.

Letusan vulkanik terbesar dalam sejarah tertulis umat manusia itu melambungkan 1,5 juta ton debu ke atmosfer. Indeks Ledakan Vulkanik (VEI)-nya mencapai angka 7 atau masuk ke dalam superkolosal. Angka VEI itu menunjukkan, ledakan Tambora jauh lebih besar dari letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883, yang memiliki VEI 6.

Gemuruh ledakan Tambora bahkan bisa terdengar dari jarak 2.700 kilometer. Saking dahsyatnya ledakan Tambora, semua tanaman di Pulau Sumbawa mati layu. Ledakan itu juga menyebabkan 10.000 orang, jumlah yang luar biasa besar saat itu, tewas seketika dan 82.000 lainnya menyusul mati akibat bencana kelaparan dan penyakit menulur pascaletusan.

Debu yang menutupi atmosfer menghalangi sinar matahari dan membuat temperatur udara di seluruh permukaan bumi turun. Iklim tak bersahabat itu mengakibatkan petani mengalami gagal panen berkali-kali. Kondisi ini bahkan memaksa penduduk di kawasan utara Amerika Serikat melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah yang lebih hangat.

Contoh paling kentara adalah pindahnya keluarga pendiri Gereja Mormon, Joseph Smith, dari Sharon, Vermont, menuju daerah Palmyra, New York. Begitu dahsyatnya efek yang muncul, para klimatolog sampai menamai tahun itu sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas". Sejarawan menyebutnya sebagai "Tahun Kemiskinan" serta "Seribu Delapan Ratus dan Kebekuan Menuju Kematian".

Pada 1920, klimatolog Amerika, William Humphreys, yang membuka tabir musabab bencana itu mengaku bahwa analisisnya dituntun oleh tulisan-tulisan Ben Franklin tahun 1783 mengenai musim panas nan dingin yang dipicu oleh debu vulkanik letusan Laki di Iceland. Tapi ternyata dampak debu vulkanik tak selalu berbuah buruk.

Debu yang bertengger ratusan hari di atmosfer juga mendorong lahirnya karya-karya monumental. Hujan tak henti-henti sepanjang Juli 1816 memaksa Mary Shelley dan John William Polidori tinggal lama di dalam kamar pada masa liburannya di Swiss. Buntutnya, muncul novel Frankenstein atau The Modern Prometheus dari pena Shelley, dan The Vampyre dari Polidori.

Debu vulkanik tak hanya memicu lahirnya karya sastra, melainkan juga meninggalkan jejak rekam dalam lukisan. Campuran debu vulkanik di udara melahirkan pemandangan sunset yang spektakuler sepanjang periode itu. Cakrawala indah itu dirayakan pelukis romantik asal Inggris, Joseph Mallord William Turner, lewat usapan kuasnya yang berkarakter.


Seperti debu Tambora, letusan Krakatau juga punya efek hingga jauh ke Eropa. Setidaknya terabadikan dalam Skrik, lukisan fenomenal seniman Norwegia, Edvard Munch. Lukisan yang lebih dikenal sebagai The Scream ini dilukis Munch untuk menggambarkan perasaannya ketika tengah berjalan-jalan dengan dua sahabatnya.

"Tiba-tiba langit berubah warna jadi merah --saya berhenti, merasa sangat lelah, dan bersandar di pagar-- ada darah dan lidah api di atas teluk dan kota teman-temanku terus berjalan, sementara aku berdiri di situ gemetar oleh kecemasan --dan saya merasa sebuah teriakan abadi tengah lewat," demikian Munch menggambarkan situasi yang menginspirasi The Scream.

Baru pada 2003, para astronom mengklaim telah menemukan waktu tepat kala ide The Scream muncul di benak Munch. Menurut mereka, merahnya langit dan situasi alam yang ditangkap Munch dalam lukisannya itu adalah akibat letusan Gunung Krakatau 1883, yang menyebabkan sunset sangat intens di seluruh Eropa pada musim dingin 1883.



Comments